...

Mengucapkan " GONG XI FAT CHOI " Semoga ditahun baru ini dapat menjadi lebih baik....

21 Desember 2008

Mengetuk Pintu Rezeki


Kalau Qiyamul Lail menjadi jeda antara shalat Isya dan Shubuh, maka shalat Dhuha menjadi perantara antara shalat Shubuh dan Zuhur. Keutamaan shalat Dhuha, tidak kala jika dibandingkan Qiyamul lail.
Matahari beranjak dari peraduannya di ufuk timur, menandakan siang segera menjelang. Aktivitas kehidupan pun bergerak. Sebelum melakukan kegiatannya, seorang Muslim akan mengawali harinya dengan shalat Shubuh. Lalu, mengayunkan langkahnya untuk memulai hari baru.
Nah, sebelum asyik menenggelamkan diri dalam dunia kerja, seorang Muslim dianjurkan melaksanakan shalat Dhuha. Kata Dhuha yang mengiringi shalat sunnah ini berarti terbit atau naiknya matahari. Wajar jika shalat ini, dilakukan pada pagi hari ketika matahari mulai menampakkan sinarnya. Namun, beberapa ulama fiqh berbeda pendapat tentang ketentuan waktunya.
Imam Nawawi dalam kitab ar-Raudah mengatakan, waktu shalat Dhuha dimulai sejak terbitnya matahari, yakni sekitar setinggi lembing (sekitar 18 derajat). Sementara Abdul Karim bin Muhammad ar-Rifai, seorang ahli fiqh bermazhab Syafi'I berkomentar, shalat Dhuha itu lebih utama jika dikerjakan saat matahari lebih tinggi dari itu.
Sebuah hadits yang menentukan perihal shalat Dhuha ini diriwayatkan oleh Zaid bin Arqam. Ia berkata, “Rasulullah saw keluar menemui penduduk Quba saat mereka melaksanakan shalat Dhuha. Lalu Rasulullah saw bersabda, “Shalat Dhuha dilakukan apabila anak-anak unta telah merasa kepanasan (karena tersengat matahari)," (HR Muslim).
Sebagai mana shalat sunnah lainnya, shalat Dhuha tidak susah dikerjakan. Kalau Qiyamul Lail menjadi jeda antara shalat Isya dan Shubuh, maka shalat Dhuha merupakan jeda antara Shubuh dan Zuhur. Di tengah padatnya aktivitas seorang Muslim, shalat Dhuha tidak akan mengganggu kegiatannya. Ia bisa dilakukan sesuai dengan kemampun masing-masing.
Hal ini tergambar jelas pada bilangan rakaatnya. Mulai dari dua rakaat, empat rakaat, delapan rakaat hingga 12 rakaat. Masing-masing rakaat memiliki sandaran hadits Rasulullah saw.
Sayid Sabiq, ahli fiqh dari Mesir, menyimpulkan, batas minimal shalat Dhuha itu dua rakaat sedangkan batas maksimalnya adalah delapan rakaat. Pada ketentuan minimal dapat ditemukan pada hadits riwayat Abu Hurairah. Sementara ketentuan maksimal dapat ditemukan pada hadits fi'li (perbuatan) yang diriwayatkan Aisyah yang berkata, “Rasulullah saw masuk rumah saya lalu melakukan shalat Dhuha sebanyak delapan rakaat," (HR Ibnu Hiban).
Menurut ulama mazhab Hanafi, jumlah maksimal rakaat shalat Dhuha itu 16 rakaat. Sedang Abu Ja'far Muhammad bin Jarir at-Thabari, pengarang kitab Tafsir Jami al-Bayan, sebagian ulama mazhab Syafi'i dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah berpendapat, tak ada batas maksimal untuk jumlah rakaat shalat Dhuha. Semuanya tergantung pada kemampuan dan kesanggupan orang yang ingin mengerjakannya.
Dalam Syarah Tirmidzi, al-Iraqi mengatakan, “Saya tidak pernah melihat seorang pun, baik dari golongan sahabat Nabi maupun tabi'in yang membatasi rakaat shalat Dhuha hingga 12 rakaat.” Hal ini juga ditegaskan oleh Suyuthi.
Sayid Sabiq menjelaskan dalam Fiqhus Sunnah-nya, Said bin Manshur ketika ditanya, “Apakah sahabat Nabi juga pernah melakukan shalat Dhuha.” Ia menjawab, “Ya, ada di antara mereka yang mengerjakannya sebanyak 12 rakaat. Ada juga yang mengerjakannya sampai empat rakaat. Ada pula yang mengerjakannya terus-menerus hingga tengah hari tanpa menghitung jumlah rakaat yang dikerjakannya.” Ibrahim an-Nakha’i, seorang tabiin, meriwayatkan bahwa ada seorang yang bertanya kepada Aswad bin Yazid, “Berapa rakaatkah saya harus mengerjakan shalat Dhuha?” Ia menjawab, “Sesuka hatimu.” Ummu Hani berkata, “Nabi pernah mengerjakan shalat Dhuha sebanyak delapan rakaat. Pada setiap dua rakaat, beliau mengucapkan salam,” (HR Abu Daud dengan sanad shahih).
Aisyah menambahkan, “Nabi mengerjakan shalat Dhuha sebanyak empat rakaat, lalu beliau menambah rakaat berikutnya tanpa hitungan yang pasti,” (HR Muslim, Ahmad, dan Ibnu Majah).
Dari Nuwas bin Sam’an, Rasulullah saw bersabda, “Allah SWT berfirman: ‘Wahai anak Adam, janganlah sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat pada permulaan siang (yakni shalat Dhuha). Jika engkau senantiasa mengerjakannya, Aku akan mencukupkan (kebutuhanmu) pada sore harinya."
Begitu pentingnya shalat Dhuha ini sampai-sampai para sahabat—sebagaimana diriwayatkan Tirmidzi dari Abu Said—mengira Nabi tidak pernah meninggalkan shalat Dhuha. Namun ketika beliau meninggalkannya, para sahabat mengira beliau tidak pernah melakukannya. Ini menunjukkan bahwa hukum mengerjakan shalat Dhuha itu sunnah.
Kalau kita sudah mengetahui hukum shalat Dhuha itu sunnah, maka seyogianya kita segera melaksanakannya. Bukan sebaliknya, lantaran hukumnya sunnah, kita dengan mudah mengabaikannya. Sebab, defenisi Sunnah adalah tidak mengapa ditinggalkan, tapi berpahala jika dikerjakan. Tentu, kita ingin di akhirat kelak menjadi orang yang mendapatkan rahmat dari Allah untuk memasuki surga-Nya. Salah satu caranya adalah dengan mengumpulkan pahala sebanyak mungkin.
Dari : Majalah Sabili/Hepi Andi Bastoni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar